Siang menuju sore, aku tidur disebuh kostan temanku.
Istirahat sambil menunggu jarum jam mengarah pada angka 4. 15.35 aku dan abang
berangkat menuju café ngopi doeloe yang terletak dibandung, tepatnya aku tidak
tau. Aku berngkat naik angkot bersama temanku yang aku panggil abang itu. Kami
tidak tau tempatnya, kami hanya mengikuti petunjuk yang diberikan temanku,
Icha. Diperjalanan aku melihat icha dan dua teman laki-lakiku naik motor menuju
café. Kami sms dia untuk menunggu kami dan menjalankan motor dengan pelan agar
kami berangkat bersama. Namun, mereka pergi meninggalkan kami, karena waktu
yang telah lebih dari jam 4. Karena sebuah sms masuk yang membuat aku dan abang
gak mood lagi untuk menemui acara
bertemu dengan Janet, guru besar disalah satu universitas di USA. Aku kesal
waktu itu.
Aku duduk di kursi
tembok yang mengarahkan pandangan kejalan, dan disebrang jalan itu terdapat
sebuah tulisan besar bertuliskan DAGO, besar sekali, tapi aku gak tau tulisan
itu terbuat dari apa. Aku nikmati angin dipinggir jalan, suara bising kendaraan
memadati telingaku. Aku merenung apakah aku harus tetap menemui mereka atau
tidak. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak datang pada acara itu. Aku dan abang
pergi ke Gramedia untuk membeli buku Tauhid, tapi tidak kami temukan. Kami
keluar dan menuju Bandung Indah Plaza untuk makan, sesampainya disana ternyata
uang kami tidak mencukupi untuk membeli makanan-makanan mewah ditempat itu.
Kami keluar lagi dan memutuskan mencari makan dipinggir jalan. Kami membeli
gorengan didepan BIP, dengan uang 8 ribu kami dapat macam-macam gorengan. Kami
berjalan dan menemukan pedagang bubur ayam, perut kami memaksa untuk berhenti
ditempat itu. Kami memesan bubur ayam dengan teh manis hangat. Kami menikmati
bubur ayam itu, meski satu persatu pengamen menghampiri. Ternyata harganya lumayan menguras, 26ribu
untuk dua porsi. Mahal bagi seorang mahasiswa yang hanya memiliki sedikit uang.
Karena kami menghemat uang, kami berjalan jauh sampai kami
temukan angkot menuju cibiru berwarna pink. Malam itu sangat asing bagiku, aku
tidak pernah berjalan dikota orang dimalam hari. Dikolong jembatan, aku melihat
banyak tunawisma tertidur. Subhanallah, ini kali pertamaku melihat banyak orang
tidur dikolong jembatan. Puluhan pengamen berlari-lari mengejar bis dan angkot,
serta puluhan pengemis berdiam dipinggir jalan.
Kami terus berjalan dan bercanda selama perjalanan mencoba
melupakan kejadian tadi sore. Tepat disebuah pertigaan depan gedung gasibu,
seseorang memanggilku, ternyata itu suara icha yang naik motor bersama salah
satu teman lelakiku. Mereka menghampiri aku dan abang. Mereka meminta maaf pada
kami berdua. Beberapa menit kemudian kakak seniorku berjalan kearah kami. Dia
bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya diam dan tak mau menjelaskan apa
yang aku alami. Icha memberi kabar kepada satu teman laki-lakiku lagi yang
sebenarnya dia udah dijalan menuju pulang, jauh. Icha menyuruh temanku itu
untuk menjemputku, karena abang pergi sendiri naik angkot. Karena tak ada
balasan dari temanku itu, icah menyuruh salah satu kakak seniorku lagi untuk
menjemputku. Tapi ternyata keduanya datang dengan waktu yang hampir bersamaan.
Mereka bertanya aku kenapa, dan pertanyaan itulah yang membuat aku tambah kesal
dan aku menangis dipinggir jalan itu. Akhirnya aku pulang bersama teman
laki-lakiku. Aku dan mereka saling bermaafan. Banyak pelajaran yang aku terima
hari itu 17 Oktober 2012.